Makin hari jejaring sosial makin banyak digemari dan digandrungi. Di ranah dunia maya, tren baru ini memunculkan beberapa efek samping. ...
Makin hari jejaring sosial makin banyak digemari dan digandrungi. Di
ranah dunia maya, tren baru ini memunculkan beberapa efek samping. Salah
satunya adalah menurunnya popularitas blogging. Kalaupun tidak menurun,
barangkali adalah hambatan pada pertumbuhannya. Asumsikan pertumbuhan
blogging diprediksi memiliki gradien 30 derajat jika demam jejaring
sosial tidak pernah terjadi seperti hari ini. Setelah demam jejaring
sosial terjadi seperti hari ini, pertumbuhan blogging pun tidak bisa
mencapai gradien 30 derajat sebagaimana diprediksikan.
Saya teringat masa-masa ketika blogging mulai populer. Waktu itu
jejaring sosial belum terlalu populer. Orang-orang pun mulai
berlomba-lomba membuat blog dengan memanfaatkan layanan-layanan blogging
gratis macam Blogger dan WordPress. Budaya blogwalking pun semakin
populer. Seorang blogger berusaha untuk mengunjungi blog orang lain lalu
memberikan komentar, dengan harapan si pemiliki blog itu akan juga
mengunjungi blognya. Posting-posting yang ada dalam jutaan blog pun
ramai dengan komentar-komentar para pengunjung.
Namun ketika masyarakat terjangkit demam jejaring sosial, blog-blog
pun sepi komentar. Orang-orang lebih suka berkomentar di jejaring sosial
daripada menulis komentar di blog orang lain. Korban lain dari
popularitas jejaring sosial, menurut saya, adalah situs-situs diskusi
(forum). Cukup banyak situs-situs diskusi yang dibangun dengan PHPBB
atau yang lainnya menjadi sepi setelah orang-orang lebih memilih
“berdiskusi” di situs-situs jejaring sosial. Padahal kalau mau jujur,
berdiskusi di situs-situs diskusi sebenarnya lebih enak karena disana
sudah disediakan “kamar-kamar khusus” untuk berbagai macam topik
diskusi. Kelihatan lebih rapi dan lebih enak untuk diikuti.
Kegandrungan masyarakat pada jejaring sosial juga menyebabkan
masyarakat lebih memilih dan sudah merasa puas bisa meng-update status
dan tweet ketimbang mem-post tulisan di blog alias blogging. Memang
menulis status dan tweet terasa lebih mudah daripada menulis di blog.
Hampir semua orang bisa menulis status dan tweet, tapi tidak semua orang
bisa atau cukup percaya diri untuk menulis sesuatu di blog. Blogging
menuntut keterampilan yang lebih.
Masalahnya kemudian para blogger seolah-olah ikut-ikutan demam
jejaring sosial dan mengucapkan selamat tinggal pada blogging. Dulunya
rajin menulis di blog, kini blognya jadi terlantar. Menurut saya sih,
semestinya para blogger tetap bisa konsisten ber-blogging ria, seraya
tetap ikut menikmati jejaring sosial.
Ada yang mengatakan bahwa turunnya tren blogging disebabkan oleh
masih sangat rendahnya budaya baca masyarakat. Mereka lebih suka membaca
status-status pendek atau ocehan-ocehan (baca: tweets) daripada tulisan
lebih panjang yang ada di blog. Akibatnya, para blogger pun jadi ikut
terpengaruh dan “mengalah”. Para blogger jadi berpikir, “Kalau memang
masyarakatnya kurang suka baca blog dan lebih suka jejaring sosial, ya
udahlah kita nulis di jejaring sosial aja. Daripada nulis tapi gak
dibaca.” Akhirnya, seorang Goenawan Muhammad pun terpaksa harus rela mau
ber-kultwit dan membiarkan blognya sepi.
Fenomena Kultwit
Sekarang ini malah muncul satu tren baru yang namanya kultwit,
singkatan dari ‘kuliah twitter’. Kultwit ini adalah serentetan tweet
yang bersambung, dan membentuk satu kesatuan cerita. Biasanya diberi
nomor urut, mulai dari nomor 1. Sebuah kultwit bisa saja panjangnya
sampai 30 nomor.
Mungkin banyak orang bertanya, daripada menulis kultwit mengapa tidak
menulis di blog? Dibanding blog, kultwit terlihat terlalu kaku. Setiap
paragraf hanya dibatasi 140 karakter saja. Seringkali transisi antar
paragraf (baca: antar tweet) terlihat kurang serasi. Kalimat-kalimat
dalam kultwit sulit membentuk satu tulisan utuh dengan alur yang
mengalir enak layaknya air. Kecuali jika Anda seorang Goenawan Muhammad,
yang menurut saya, kultwit-kultwitnya menyerupai sebuah prosa puitis.
Ini saya kopi dari Kompas.com. Ada yang menulis begini: “Karena nulis
blog harus memperhatikan beberapa aspek : 1. Rangkaian kata dan
kalimat. 2. Tingkat informativitas. 3. Tata bahasa. 4. Kerapihan. 5.
Kevalidan informasi. 6. dll. Sedangkan nge-tweet, cuma harus
memperhatikan : 1. Tingkat kenarsisan. 2. Subyek narsis. 3. Predikasi
narsis. 4. Obyek narsis. wakakakakakakaka.”
Karena itu, ada yang mengatakan bahwa kultwit itu ditujukan untuk
masyarakat kebanyakan, sifatnya populer. Sedangkan blog ditujukan untuk
masyarakat yang lebih intelek, sifatnya lebih eksklusif. Apa benar
begitu?
Yang jelas, kekurangan yang lain dari kultwit adalah, bertumpuknya
bagian-bagian kultwit dengan tweet-tweet lain pada timeline. Orang yang
tidak mengikuti kultwit dari awal juga bisa ‘tidak nyambung’ atau ‘harus
membaca dari belakang ke depan’. Meski memang akhir-akhir ini sudah
mulai bermunculan aplikasi pihak ketiga yang bisa merapikan kulwit –
memisahkan dan mengurutkannya – sehingga lebih enak untuk dibaca.
Karena itu banyak orang menyarankan, daripada menulis kultwit mengapa
tidak menulis di blog saja dengan seekspresif mungkin tanpa banyak
batasan-batasan, lalu link-nya di-publish di jejaring sosial. Lebih enak
kan? Tapi memang yang namanya tren itu seringkali sulit dilawan.
Sekarang memang lagi trennya jejaring sosial. Ketika Twitter sedemikian
digemari dan dipuja-puja, segala yang berbau Twitter – termasuk kultwit –
dianggap lebih keren.
Bagaimana pendapat Anda?