Pasar, Pesantren dan Masjid adalah tiga komponen utama kesuksesan strategi dakwah kaum muslimin di Nusantara. Pasar seperti diketahu...
Pasar, Pesantren dan Masjid adalah tiga komponen utama kesuksesan
strategi dakwah kaum muslimin di Nusantara. Pasar seperti diketahui pada abad-abad
itu adalah pusat ekonomi rakyat, semua elemen masyarakat mengadu hidupnya
melalui insitusi bernama pasar, dan komoditas utamanya adalah rempah-rempah.
Dalam hal ini, para juru dakwah Islam memiliki bargaining position yang
kuat, saudagar-saudagar muslim yang berasal dari Arab terkenal pandai berniaga
dan tergolong kaya. Hal ini tentu berhasil merebut hati dan simpati Pribumi.
Lambat laun pasar menjadi basis penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Sementara itu, lembaga pesantren juga tak kalah kontribusinya bagi pesatnya
penyabaran Islam. Aktivitas-aktivitas perkaderan ulama, keilmuan, dan
kebudayaan terjadi di lingkungan pesantren, kiai dan santri perlahan
menumbuhkan kebudayaan Islam Nusantara melalui serangkaian aktivitasnya, selain
itu dari sinilah benih-benih rasa kebangsaan diam-diam disemai dan dialiri
semangat transedental ilahiyah. Terakhir, Masjid memiliki peran yang sangat
sentral sebagai ruang sosial tempat bertemunya kaum muslimin dari berbagai
strata sosial, Masjid juga menjadi semacam “corong” bagi para ulama untuk
menyampaikan pandangan dan seruannya seruannya kepada khalayak kaum muslimin.
Kolaborasi tiga elemen vital ini berhasil mencapai kegemilangan
dakwah Islamiyah yang luar biasa kuatnya, dengan waktu yang relatif singkat
Islam telah menggeser Hindhu-Budha sebagai agama mayoritas di Nusantara, dan
jauh lebih penting kesuksesan misionaris Islam ini dilakukan tanpa pedang dan
darah, sebagaimana banyak dituduhkan oleh para orientalis, melainkan dengan
wajah yang ramah dan lembut. Strategi mendahulukan pendekatan kebudayaan,
penguatan basis ekonomi dan penciptaan ruang ruang sosial terlebih dahulu
terbukti jitu diterapkan pada masyarakat Pribumi Nusantara. Setelah basis
kebudayaan, ekonomi dan sosial telah kokoh, komunitas muslim barulah berpikir
tentang imajinasi kesatuan politik ummat Islam. Eksperimentasi politik (ijtihadi)
ummat Islam kala itu adalah membentuk Kesultanan, sebagai langgam kesatuan
politik komunitas muslim menggantikan sistem kerajaan yang berwatak Hindu
Budha. Kepemimpinan dijalankan oleh seorang Sultan yang bergelar Khalifatullah
Panatagama, para Sultan muslim ini disokong lingkaran ulama sebagai
penasihat kesultanan. Kolaborasi Ulama dan Umaro inilah yang
merumuskan kebijakan kebijakan Kasultanan Islam, termasuk kebijakan anti-kolonialis
berupa perlawanan-perlawanan rakyat. Tercatat hingga awal abad 20-an di
berbagai daerah Nusantara ada sekitar 40-an kasultanan Islam yang pernah
berdiri sebelum ditaklukkan oleh kolonialisme Belanda (Liahat Masykur
Suryanegara, Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam
Menegakkan Negara Kesatuan Indonesia). Dengan ‘membaca’ fenomena sosio-historis
ini, kita dapat berkonklusi bahwa perjuangan mewujudkan kesatuan politik
betapapun urgennya diletakkan paling akhir dari desain besar perjuangan ummat
Islam, bukan sebaliknya.
Pada masa-masa revolusi kemerdekaan, tiga elemen vital di atas memainkan
peranan yang sangat signifikan dalam perjuangan membela republik, terutama
sekali insitusi pesantren. Setelah kasultanan Aceh ditaklukkan tentara kolonial
pada akhir tahun 1900-an, praktis kekuasaan politik ummat Islam di Nusantara
telah berakhir. Namun meskipun kekuasaan politik berakhir, namun kekuatan ummat
Islam tidaklah ikut sirna pula, sebab basis kebudayaan masyarakat masih dipegang
oleh para ulama. Pesantren-pesantren yang terus tumbuh di awal abad 19 berkat
politik etis menjadi semakin independen dan bahkan mengembangkan suatu jenis
semangat radikalisme baru, sutau semangat yang disebut oleh Mitsuo Nakamura
sebagai tradisionalisme radikal. Akibat semakin dipinggirkan dalam
sistem pendidikan kolonial, pesantren justru berhasil mengambil peran oposan
terbesar kolonial kala itu, pesantren menjadi basis penyemaian semangat
kebangsaan kaum muda dan pusat perlawanan paling radikal di Nusantara, para kiai
memainkan peranan yang begitu besar dalam membakar semangat juang kaum santri
dan mengobarkan panggilan jihad fii sabilillah membela republik. Kisah
paling heroik adalah ketika Hadratusy-Syaikh Hasyim Asyari, mengeluarkan fatwa
kewajiban jihad fii sabillillah dalam peperangan 10 November di
Suarabaya, fatwa ini berhasil memobilisasi dukungan ratusan ribu santri di
seantero Jawa dan Madura. Ada begitu banyak kisah-kisah yang menunjukan bahwa
di awal abad 20, pesantren menjadi basis perlawanan kaum santri terhadap
kolonialisme Belanda. Saat itu, Islam dijadikan api perjuangan melawan jahatnya
kolonialisme Belanda. Dalam konteks yang lebih luas, Islam di Nusantara
sesungguhnya juga telah berhasil melakukan “purifikasi” terhadap konsep
nasionalisme. Nasionalisme di barat yang sejatinya berwatak sekularistik, di
Indonesia ditransformasikan menjadi rasa kebangsaan yang dijiwai semangat
transedental teramat tinggi, Kiai Wahab Hasbullah ketika itu menggunakan
mutiara hikmah “Hubbul Wathan Minal Iman” sebagai landasan teologis
bahwa Islam dan nasionalisme tidaklah bertentangan, bahkan nasionalisme sangat
dianjurkan oleh Islam dan sebagian dari kepercayaan seorang muslim, inilah
saat-saat di mana keislaman dan keindonesiaan bergandeng tangan dengan penuh
kemesraan.