Hari ini, tanggal 2 Mei adalah tanggal kelahiran Raden Mas Soewardi Soeryadiningrat atau lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara (se...
Hari
ini, tanggal 2 Mei adalah tanggal kelahiran Raden Mas Soewardi Soeryadiningrat
atau lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara (selanjutnya KHD), atas jasanya
Presiden Soekarno menjadikan tanggal kelahiran KHD sebagai Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas) denagan surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959.
Ayah
KHD Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat, putra dari Kanjeng Gusti Pangeran
Hadipati Harjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III dan masih mempunyai
alur keturunan dengan Sunan Kalijaga. Sebagaimana
seorang keturunan bangsawan dan ulama, KDH dididik dan dibesarkan dalam lingkungan
sosio-kultural dan religius yang tinggi serta kondusif. Pendidikan yang diperoleh
KHD dilingkungan keluarga sudah mengarah dan terarah ke penghayatan nilai-nilai
kultural sesuai dengan lingkungannya. Pendidikan keluarga yang tersalur melalui
pendidikan kesenian, adat sopan santun, dan pendidikan agama turut mengukir jiwa kepribadiannya. Salah satunya
belajar Al-Qur’an (nyantri) di pesantren yang dipimpin Kyai
Sulaiman Zainuddin, berada di Kalasan Prambanan, Yogyakarta. (lihat sejarah
Taman Siswa).
Pesantren
dan KHD
Pesantren
merupakan khazanah peradaban Nusantara yang telah ada sejak zaman Kapitayan,
sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam. Pertemuan
dengan agama besar tersebut pesantren mengalami perubahan bentuk dan isi sesuai
dengan karakter masing-masing agama, tetapi misi dan risalahnya tidak pernah
berubah, yaitu memberikan muatan nilai spiritual dan moral pada setiap perilaku
masyarakat sehari-hari, baik dalam kegiatan sosial, ekonomi maupun kenegaraan.
Sejak
awal pesantren menjadi pusat pendidikan masyarakat mulai dari bidang agama,
kanuragan (bela diri), kesenian, perekonomian dan ketatanegaraan. Karena itulah
para calon pimpinan agama, para pujangga bahkan para pangeran calon raja dan
sultan semuanya dididik dalam dunia pesantren atau padepokan. Para pandita,
panembahan atau kiai
yang mengasuh para murid, cantrik atau santri dalam belajar sehari hari.
Zaman
Islam terutama pada masa Walisongo, pesantren yang semula bernuansa Hindu-Budha
mulai mendapatkan nuansa Islam, sejalan dengan tersebarnya agama baru ini. Dari
pesantren itulah agama diajarkan secara luas di tengah masyarakat, lalu diajarkan secara
mendalam, dengan mempelajari berbagai kitab babon, sehingga melahirkan ulama
atau kiai besar yang menjadi penerus perjuangan para wali. Berbagai kitab yang
diajarkan di pesantren saat ini, baik kurikulum, kitab dan metodenya semuanya
berasal dari generasi para wali dan kiai sesudahnya. Metode itulah yang
terbukti berhasil melahirkan berbagai ulama dan pujangga serta sultan yang
berpengaruh dalam sejarah Islam Nusantara. Paku Buwono VI, Pangeran Sambernyowo
(Mangkunegoro I) juga Pangeran Diponegoro tokoh besar yang piawai dalam
politik, tak pernah terkalahkan dalam perang, semuanya murni hasil pendidikan
politik pesantren.
Baru
ketika kolonial datang dengan kebijakan Politik Etisnya tahun 1900,
memperkenalkan pendidikan sekolah yang
hanya mengajarkan ilmu-ilmu keduniaan dengan dasar rasional semata, mulailah
terjadi dualisme pendidikan Nusantara. Pendidikan yang semua terpadu mulai
dipisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Karena pendidikan Barat
tidak mengenal ilmu agama, hanya mengenal ilmu umum sementara pendidikan
pesantren saat itu mengintegrasikan keduanya.
Hadirnya
pendidikan kolonial yang diperkenalkan secara persuasif maupun represif itu,
menjadikan sekolah menjadi pendidikan tunggal yang menggeser posisi pesantren.
Ketika politik diarahkan pada paradigma Barat, sehingga belajar hukum dan
politik harus ke sekolah Barat bukan lagi ke pesantren seperti para sultan
sebelumnya. Sementara pesantren yang menjalankan politik anti tasyabuh
atau non kooperasi total, menolak segala bentuk budaya Belanda. Pesantren terus
berjalan dengan paradigmanya sendiri, namun demikian tetap melahirkan tokoh
besar yang tak terkalahkan. Hampir seluruh perlawanan terhadap penjajah
dilakukan oleh pimpinan pesantren. Kalaupun dilakukan oleh Kraton, tentu
melibatkan para kiai dan santri dari pesantren.
KHD melihat bahwa pendidikan ala Belanda yang muncul
sebagai Ethische Politiek pada permulaan abad ke-20 tidak sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia karena hanya mementingkan aspek intelektual, individual,
material, dan kepentingan kolonial serta tidak mengandung cita-cita kebudayaan
nasional. Sistem pendidikan yang berkembang sesudah era itu masih
memperlihatkan pengaruh yang kuat sistem pendidikan ala Belanda. Maka pada Penerimaan
Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 7 November 1956. KHD berpidato,
“Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa
seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan
“garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran
di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain
daripada yang kita lihat sekarang…” (Ki Hadjar Dewantara).
Tulisan
ini secara jelas memperlihatkan refleksi KHD
tentang keadaan bangsa Indonesia yang mengalami
distorsi atau penyimpangan jalannya sejarah peradaban pada masa silam selama
350-an tahun sebagai akibat penjajahan Belanda. Situasi penjajahan ini membawa
akibat terputusnya tradisi dan budaya, termasuk di dalamnya sistem pendidikan
bangsa Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia sangat lama mengalami kevakuman
dan “terpaksa” harus berkiblat ke Barat dalam bentuk, isi, dan irama sistem
pendidikan dan pengajaran. Seandainya tidak ada penjajahan, bangsa Indonesia
pasti akan mempunyai sistem pendidikan yang bentuk, isi, dan iramanya lain.
Padahal dalam tradisi bangsa Indonesia, menurut KHD,
kita mengenal istilah pendidik seperti pujangga, dalang, dwidjawara, hadjar,
pendita, wiku, begawan, wali, kyai, dan juga istilah anak didik seperti mentrik,
sontrang, dahyang, cantrik, dan santri. Ini menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia telah memiliki sejarah pendidikan yang panjang, yang berakar dari
budaya bangsa sendiri, namun terputus karena penjajahan Belanda yang
berlangsung selama 350 tahun.
Masa penjajahan Belanda adalah masa terdistorsinya
tradisi, budaya, dan pendidikan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang pernah
mengalami masa kejayaan dalam berbagai ilmu, misalnya ketatanegaraan, sastra,
budaya, teknologi, pelayaran, pertanian, seperti yang terlhat pada masa
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad IV), Kerajaan Tarumanegara di Jawa
Barat (abad V), Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (abad VI), Kerajaan Sriwijaya
di Sumatra (abad VII), dan Kerajaan Majapahit (abad XIV); mengalami masa-masa
pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan sebagai bangsa terjajah pada era
sesudahnya. Berbagai ilmu khas yang ada di Nusantara banyak yang diambil dan
dipelajari oleh kaum penjajah sehingga di Belanda berkembang apa yang disebut Indology,
yakni studi tentang budaya, bahasa, dan kesusasteraan Nusantara. Sementara itu,
bangsa Indonesia sebagai kaum terjajah selama beberapa generasi mengalami titik
nadir dalam berbagai aspek itu. Faktanya adalah tidak ada upaya untuk
mengembangkan pendidikan. Kalau akhirnya ada, itupun terbatas bagi kalangan
priyayi dan tidak untuk rakyat kebanyakan atau demi memenuhi kebutuhan
pemerintahan kolonial di bumi Nusantara pada waktu itu.
Sistem
Pesantren, Sistem Nasional
Pesantren
adalah pondasi pendidikan nasional. Selain karena lembaga pendidikan tertua di
Nusantara, pesantren, menurut KHD adalah
lembaga kebangsaan yang ideal. Menurut
penulis buku Pesantren Studies (9 jilid), Ahmad Baso, hal itu bisa ditelisik
pada pemikiran KHD dalam tulisannya, “Pada November 1928, misalnya, ia menulis
Sistem Pondok dan Asrama itulah Sistem Nasional,” katanya kepada NU Online,
di Jakarta, Kamis, (2/5/13).
Dalam
tulisan itu, Ki Hajar mengatakan, "Mulai zaman dahulu hingga sekarang
rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan,
yaitu kalau sekarang lebih dikenal pondok pesantren, kalau di zaman
Kabudan [Hindu-Budha] dinamakan pawiyatan atau asrama.
Bebicara
KHD tidak lepas dari Taman Siswa. Pendirikan Taman Siswa bertujuan untuk
pendidikan pemuda Indonesia dan juga sebagai alat perjuangan bagi rakyat
Indonesia. Tujuan Taman Siswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur
akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya
untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan
susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Taman Siswa ini sejalan
dengan tujuan pendidikan nasional.
Ada
tiga dasar yang dijadikan fondasi pijakan Taman Siswa dalam mendidik
siswa-siswinya. Yaitu, 1) asas kemerdekaan diri, meliputi tiga prinsip terkait
dengan kemerdekaan kehendak dan perbuatan yang berdasar pada pikir dan rasa;
kemerdekaan tenaga yang berdasar pada maksud dan tujuan; dan pentingnya meminta
nasihat, jika tidak memahami sesuatu; 2) sendi pondok asrama, meliputi tiga
prinsip yang mengatur sistem asrama; dan 3) peraturan tertib damai meliputi
tujuh aturan penggunaan asrama.
Sistem
pondok asrama (pesantren) adalah sebagai bentuk kritik atas pendidikan model
Eropa. Setidaknya, ada dua manfaat dari sistem pesantren. Pertama, lebih
efisien. Mengingat, di pondok guru, pembantu (staf) dan cantrik (siswa)
berkumpul menjadi satu. Sehingga pengeluaran belanja dapat terukur dan terpadu.
Kedua, keunggulan sistemnya. Di pondok, tiap hari, siang malam antara siswa dan
guru saling berinteraksi. Alhasil, dunia kesiswaan (kecantrikan) lebih optimal.
Anak, tidak hanya berjibaku dengan buku, tapi bisa langsung berdialog dengan
gurunya. Konsep pengajarannya, lebih menekankan pada pembentukan manusia
seutuhnya. Mendidik anak lahir dan batin, mematangkan anak untuk hidup sebagai
manusia utama.
Selain
sudah lama melekat dalam kehidupan di Indonesia, model ini (pesantren) juga
merupakan kreasi budaya Indonesia, setidak-tidaknya Jawa, yang patut untuk
dipertahankan dan dikembangkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren telah
banyak memberikan andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. sistem pondok ala
pesantren bukan sistem tradisional, kuno atau sektarian tapi sistem nasional,
yang harus menjadi spirit kebangsaan bernama Indonesia. Selama kita orang
Indonesia, mau agama apapun, harus ikut sistem pebdidikan ini.
Kesimpulan
dan Saran
Berdasarkan
pembahasan tersebut, dapat ditarik konklusi sebagai berikut; 1) KHD adalah
santri; 2) Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Nusantara; 3)
Pesantren melahirkan tokoh nasional yang piawai dari pendidikan sampai politik;
4) Pendidikan di Taman Siswa menerapkan prinsip kemerdekaan dan kebebasan ala
pesantren; dan 5) Pendidikan ala KHD terisnpirasi dari pendidikan pesantren.
Agar
kajian dan ajaran KHD tentang pendidikan ala pesantren dapat dipahami oleh
khalayak umum secara baik, perlu adanya reseach yang lebih mendalam dan
lebih komprehensif.
Download
bentuk word di sini