Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, tentu bahasa Arab mempunyai tempat tersendiri di benak bangsa Indonesia....
Sebagai bangsa yang mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam, tentu bahasa Arab mempunyai tempat
tersendiri di benak bangsa Indonesia. Ini pula yang mungkin mendorong
Hanifullah Syukri dan Anas Sasmita menulis tugas akhirnya masing-masing
di Program Pascasarjana UI dan IAIN Jakarta tentang pengaruh bahasa Arab
dalam kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Judul tesis Hanifullah
Syukri (selanjutnya disebut Syukri) Kesetiaan Bahasa Masyarakat Keturunan Arab: Studi Kasus di Kecamatan Pasar Kliwon Kotamadia Surakarta (1996), sedangkan judul tesis Anas Sasmita (selanjutnya disebut Sasmita) Fungsi Pemakaian Kata-kata Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia sebagai Media Dakwah Islamiyyah (1989). Letak kesamaan kedua tesis ini sama-sama mengangkat tentang perkembangan sosiolinguistik bahasa Arab di Indonesia.
Pada bagian pendahuluan, Sasmita banyak
menyoroti tentang penggunaan bahasa Arab yang jamak dipakai oleh para
da’i, muballig, dan khatib untuk menyampaikan ajaran dakwahnya. Ia juga
banyak meneropong fungsi bahasa Arab itu sebagai bahasa dakwah yang
efektif. Sasmita ingin menunjukkan keterkaitan yang erat antara bahasa
Arab dan bahasa Indonesia terutama dalam ranah dakwah. Berbeda dengan
Syukri yang lebih banyak menyoroti variasi penggunaan bahasa Arab, yang
banyak dipengaruhi oleh kepada siapa bahasa itu dipergunakan, siapa yang
bicara, tentang siapa, tentang apa, dan dimana. Dalam kerangka inilah,
Syukri menyoroti penggunaan bahasa yang situasional yang dilakukan oleh
komunitas keturunan Arab yang ada di Kecamatan Pasar Kliwon Kotamadia
Surakarta. Dalam situasi tertentu, komunitas ini mampu menggunakan tiga
bahasa sekaligus (Arab, Indonesia, dan Jawa). Mengenai kesetiaan
berbahasa yang menjadi topik utama tesisnya, Syukri banyak meneropong
tentang sikap, kemampuan, dan pemakaian bahasa Arab yang dilakukan oleh
komunitas ini.
Dalam tesisnya ini, Sasmita tidak
menyinggung sedikit pun tentang kerangka teori yang dipakainya dalam
penelitiannya. Tidak demikian dengan Syukri. Ia mengungkapkan kerangka
teori yang melandasi penelitiannya. Sebut misalnya teori kedwibahasaan (bilingualisme)
yang dikemukakan Bloomfield (1957), Macnamara (1966), Mackey (1968),
dan Haugen (1972). Ia juga melandasi penelitiannya berdasar pendapat dan
tafsiran tentang kedwibahasaan dengan pendapat Fergusson (1959),
Weinrich (1968), dan Fishman (1975). Selain itu ia juga memperkuat basis
teorinya dengan teori alih kode (code switching), campur kode (code mixing),
dan interferensi, yang dikemukakan oleh Greenfield (1972), Herman
(1968), Gumperz (1977), Parasher (1980). Tentang kesetian bahasa, ia
melandasi penelitiannya dengan pendapat Sarnoff (1970), Kendler (1974),
Edwards (1985), Triandis (1974), dan Lambert (1967).
Baik Sasmita maupun Syukri sama-sama
menggunakan metode penelitian lapangan. Teknik yang dipergunakan pun
sama-sama menggunakan teknik wawancara dan pengamatan langsung. Hanya
saja Sasmita tidak menyebarkan kuesioner seperti yang dilakukan Syukri.
Sasmita menyebut secara tegas bahwa ia melakukan penelitian pustaka.
Memang Syukri tidak menyebutkannya, namun ia telah melakukan dengan baik
penelitian pustaka. Ia juga menjelaskan tentang metode dan tehnik,
populasi dan sampel, dan pemilihan informan, yang semuanya diperlukan
untuk menghasilkan penelitian yang baik dalam tesisnya. Sayangnya,
bagian ini ternyata tidak dilakukan pula oleh Sasmita.
Dari data yang dikumpulkan melalui
wawancara, pengamatan, maupun kuesioner, Syukri melakukan analisisnya
untuk mendukung tujuan penelitian. Pada bagian ini, Sasmita sekali lagi
ketinggalan satu langkah dari yang sudah dilakukan Syukri. Sasmita tidak
menjelaskan bagaimana cara data yang diperolehnya dianalisis. Berbeda
dengan Syukri yang menjelaskan bahwa data-data yang diperoleh dari hasil
wawancara dan pengamatan dideskripsikan dengan diikuti
pertimbangan-pertimbangan lain yang didapatkan dari hasil pengumpulan
kuesioner. Dengan kata lain, Syukri telah menjadikan data yang
dihasilkan dari wawancara, pengamatan, dan kuesioner saling mengisi
kekurangan masing-masing. Selanjutnya, ia memadukan seluruh data dalam
satu kesatuan. Jika terjadi perbedaan data, Syukri melakukan
pemersentasean hasil data dari kuesioner.
Dalam
pembahasannya, Syukri juga jauh lebih maju karena ia sudah banyak
menyoroti ke permasalahan krusial dan substansial obyek yang
ditelitinya. Ia telah melakukan pengamatan mendalam mengenai bagaimana
bahasa Arab dipergunakan oleh masyarakat keturunan Arab di Pasar Kliwon
Kotamadia Surakarta dalam berbagai kesempatan, seperti di rumah,
sekolah, kerja, dan pada saat di tempat pengajian, yang masing-masing
diungkapkan dengan ragam bahasa yang berbeda. Tidak hanya itu, ia juga
menyoroti seberapa jauh kemampuan bahasa Arab, bahasa Indonesia, dan
bahasa Jawa yang dikuasai keturunan Arab ini. Pola pemakaian bahasa,
sikap mereka terhadap bahasa Arab, jenis kesetiaan berbahasa Arab,
hal-hal yang berpengaruh pada situasai kebahasan, dan kesetiaan bahasa
mereka juga tak lepas dari amatan Syukri.
Jika Syukri sudah banyak ‘masuk’ ke
jantung permasalahan, Sasmita tidak banyak masuk ke area ini.
Penelitiannya lebih banyak berkutat pada inventarisir kata-kata bahasa
Arab yang banyak dipakai dalam Dakwah Islamiyah, berapa banyak kata
bahasa Arab yang dipakai dalam bahasa Indonesia, dan berapa kata yang
berasal dari bahasa Indonesia. Sasmita tidak mengkaji lebih jauh mengapa
kata-kata itu bisa diserap menjadi bahasa Indonesia, mengapa kata-kata
itu menjadi ungkapan bahasa Indonesia, dan apa yang menjadi latar
belakang kata-kata itu dipakai sebagai bahasa Dakwah Islamiyah. Langkah
paling jauh Sasmita baru bergerak pada sejauh mana fungsi dan pengaruh
bahasa Arab dalam bahasa Indonesia.
Dari hasil
penelitiannya itu, Sasmita menyimpulkan bahwa bahasa Arab merupakan
alat komunikasi masyarakat baik kepada sesamanya maupun kepada
Khaliqnya. Dalam penilitiannya itu, ia berhasil menemukan sedikitnya 850
kata yang berasal dari bahasa Arab dan tidak kurang dari 184 kata yang
menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia. Dari sejumlah itu, kata
yang dipergunakan dalam Dakwah Islamiyah tidak kurang dari 793 kata.
Dengan demikian, menurutnya, bahasa Arab mempunyai sumbangan yang besar
nilainya dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Oleh karenanya,
menurut Sasmita, bahwa semakin baik penggunaan dan penguasaan bahasa
Arab, maka semakin mantap pula pemikiran seseorang Muslim, terutama bila
ia adalah seorang muballig atau da’i.
Penilitian Syukri menyimpulkan bahwa
orang Arab ketika datang menjadi penyebar agama dengan jalur perdagangan
banyak menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Mereka
beranggapan dengan begitu mereka lebih mudah berkomunikasi dengan orang
lain. Mereka juga tidak berkeberatan bahasa mereka diadaptasi menjadi
bahasa setempat. Ini terbukti pada kata sekaten yang diambil dari kata dalam bahasa Arab syahadatain.
Namun ini berdampak terjadinya perubahan sikap generasi-generasi
selanjutnya terhadap bahasa asli leluhurnya (bahasa Arab). Menurut
Syukri, inilah yang mengakibatkan kekurangpedulian terhadap bahasa Arab
dan semakin menurunnya intensitas penggunaan bahasa Arab dalam tindak
komunikasi mereka. Kekurangpedulian ini hingga menyebabkan mereka yang
tidak terlahir di Arab tidak dapat berbahasa Arab lagi. Mereka pun tidak
lagi memiliki kesetian pada bahasa Arab. Terbukti pada saat
berkomunikasi mereka seringkali tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang
seharusnya mereka jaga dalam berbahasa. Kesetiaan mereka hanya terbatas
pada agar bahasa Arab tidak punah dari kalangan mereka lantaran mereka
tetap beranggapan bahwa bahasa Arab itu memiliki posisi yang amat
penting bagi kelangsungan pemelajaran ajaran-ajaran agama Islam.
Kesimpulan ini berbanding lurus dengan hasil simpulan yang berhasil
digali Sasmita. Keduanya menyimpulkan bahwa semua umat Islam terutama
yang berhubungan langsung dengan kegiatan Dakwah Islamiyah masih terus
setia mempergunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya meskipun
dalam kesehariaannya mereka tidak menggunakannya.
Secara
umum, baik isi maupun penyajiannya, Syukri memang lebih unggul daripada
kerja ilmiah yang telah dilakukan Sasmita. Kekurangan yang tampak pada
Sasmita terletak pada minimnya permasalahan yang menjadi obyek
penelitian yang mampu dihadirkannya. Ini tak terlepas dari penelitian
lapangan dan kepustakaaan yang dilakukan Syukri yang tampak jauh lebih
serius daripada yang dilakukan Sasmita. Dari daftar pustaka tampak bahwa
Sasmita minim sekali kekayaan rujukan primer dan rujukan berbahasa
Inggris. Koleksi pustakanya pun tidak terlalu banyak untuk ukuran sebuah
tesis. Syukri, dengan kekayaan rujukan primer dan rujukan berbahasa
Inggris, telah membuat tesisnya menjadi lebih menarik disimak dan lebih
sistematis. Koleksi pustaka sebagai pendukung tesisnya juga tampak jauh
lebih memadai.